Menjawab Penerapan
Nilai Pancasila dalam Kehidupan
Pada
kesempatan ini saya akan memberikan teman-teman sebuah tulisan dari sebuah buku
yang akan membahas seputar Pancasila. Tulisan dibawah adalah kutipan dari bab
penutup yang berjudul “Pancasila dari Idealitas ke Realitas” dari buku “NEGARA
PARIPURNA : Historical, Rasionalitas dan Aktualitas PANCASILA” yang ditulis
oleh Yudi Latif. Dibab penutup tersebut insyaAllah akan menjawab pertanyaan
bagaimana kita menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila kedalam
kehidupan sehari-hari.
Pancasila
dari Idealitas ke Realitas
Sampailah kita pada uraian
penutup. Di ujung pe mikiran ini mungkin perlu diingatkan, meskipun Undang
Undang Dasar kita sejak Proklamasi telah mengalami beberapa kali perubahan,
namun ia selalu menegaskan di dalam Mukadimahnya. bahwa kemerdekaan kita harus disusun
berdasarkan Pancasila, yang mengandung lima sila yang saling kait-mengait.
Kelima sila itu memiliki
landasan ontologis, epistemolog's, dan aksiologis yang kuat, memiliki dimensi
historisitas, rasionalitas. dan aktualitas yang relevan. Selebihnya adalah
tuntutan akan pendalaman pemahaman, peneguhan keyakinan, dan kesungguhan ko
mitmen untuk mengamalkan nilai nilai Pancasila itu dalam segala lapis dan
bidang kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Dalam memahami, meyakini,
dan mengamalkannya, hendaklah diingat bahwa Pancasila bukan hanya dasar statis,
melainkan juga bintang pimpinan yang dinamis yang mesti responsif terhadap
dinamika perkembangan zaman. Untuk itu, Pancasila senantiasa terbuka bagi
proses pengisian dan penafsiran baru, dengan syarat memerhatikan semangat dasar
yang terkandung di dalamnya serta kesalingterkaitan antarsila. Maknanya,
keterbukaan pengisian dan penafsiran atas setiap sila Pancasila itu dibatasi
oleh prinsip-prinsip Pokoknya dan oleh keharusan untuk menjaga koherensinya
dengan sila sila yang lain.
Pengamalan nilai nllal
Pancasila hanya dapat terlaksana apabila ada ketaatan dan warga nagara.
Ketaatan kenegaraan ini, menurut NOW (1974). dapat dlparlncl sebagai berikut.
1.
Ketaatan
hukum. yang terkandung dalam pasal 27 (1) UUD 1945. berdasarkan atas keadilan
legal,
2.
Ketaatan
kesusilaan, berdasarkan atas sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil
dan beradab,
3.
Ketaatan
keagamaan, berdasarkan atas sila pertama Pancasila, pasal 29 (1) UUD 1945,
berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945.
4.
Ketaatan
mutlak atau kodrat, atas dasar bawaan kodrat dari organisasi hidup bersama
dalam bentuk masyarakat, lebih lebih dalam bentuk negara, organisasi hidup
kesadaran dan berupa segala sesuatu yang dapat menjadi pengalaman manusia. baik
pengalaman tentang penilaian hidup yang meliputi lingkungan hidup kebendaan,
kerohanian, dan religius; lingkungan hidup sosial ekonomis, sosial politis, dan
sosialkultural.
Pusat teladan dari ketaatan
ini adalah semangat para penyelenggara negara. Sebaik apa pun kandungan
nilai-nilai Pancasila dan turunannya UUD 1945, itu hanyalah keluhuran di atas
kertas, jika tanpa kesungguhan untuk mendagingkan nilai-nilai itu dalam
penyelenggaraan negara. Seperti diingatkan oleh Soepomo:
Paduka Tuan Ketua, yang
sangat penting dalam pemerintah an dan dalam hidup negara, ialah semangat,
semangat para penyelenggara negara. semangat para pemimpin pemerintah an.
Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat
kekeluargaan. apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan
itu bersifat per seorangan, undang undang dasar tadi tentu tidak ada artinya
Untuk itu. bukan hanya
pembangunan aspek jasmaniah yang harus diperhatikan, melainkan pertama-tama
justru pembangunan aspek kejiwaan. "Bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya!" ltulah pesan dari Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Kekayaan alam
lndonesia bisa memberi kemakmuran kepada bangsa ini, namun di tangan para
penyelenggara negara yang miskin jiwa, sebanyak apa pun sumber kekayaan alam
itu tidak akan pernah mencukupi kesejahteraan warganya. Kekayaan budaya
Indonesia bisa memberi sumber kemajuan peradaban kepada bangsa ini, namun di
tangan para penyelenggara negara yang tidak memiliki kepercayaan diri, kekayaan
budaya sebanyak apa pun tidak akan pernah menjadi kekuatan kerohanian
(karakter) bagi kemajuan bangsa. Kekayaan keragaman Indonesia bisa memberi
landasan kehidupan yang rukun dan saling menyempurnakan, namun di tangan para
penyelenggara negara yang kerdil, kekayaan keragaman itu menjadi sumber
pertikaian dan saling mengucilkan.
Dalam kaitan ini, peringatan
Wiranatakoesoema pada sidang BPUPK seperti mengantisipasi kemungkinan ini:
Pada hemat saya, hal yang
menyedihkan ini disebabkan karena manusia tidak atau tidak cukup menerima
latihan batin, ialah latihan yang menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan
yang menggerakkan ia (motive force)
untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam pertanggungan jawab
sebagai seorang anggota masyarakat yang aktif, ...bukankah tujuan kita pro patria. Tetapi pro patria per orbis concordiam. Maka alam moral ini hendaknya kita
pecahkan, karena latihan otak (intellect)
saja, betapa besarnya juga, sungguh tidak akan mencukupi untuk menjadikan
manusia menjadi anggota masyarakat yang baik.
Dalam
usaha membumikan Pancasila dari alam idealitas menujualam realitas, kita perlu
menghayati fitrah (semangat asal) bernegara seperti yang dipesankan dan
dicontohkan oleh para pendiri bangsa sendiri.
Fitrah pertama adalah
semangat menuhan' (ketakwaan kepada
Tuhan). Dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, terdapat sikap 'ihsan' dengan
mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai "Atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa . Dengan pe ngakuan ini, menurut Bung Hatta, pemenuhan
crta crta kemerde kaan Indonesia, untuk mewujudkan suatu kehidupan kebangsaan yang
merdeka. bersatu. berdaulat, adil, dan makmur, mengandung kewajiban moral.
Kewajiban etis yang harus dipikul dan dipertang gungjawabkan oleh segenap
bangsa bukan saja di hadapan sesamanya, melainkan juga di hadapan sesuatu yang
mengatasi semua, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Fitrah kedua adalah semangat
kekeluargaan. Dalam pidato tentang Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno
menyatakan:
Kita mendirikan Negara Indonesia,
yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat
lndonesia. bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat
Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemitoyang kaya buat
Indonesia, tetapi Indonesia buat lndonesia semua buat semua! Jikalau saya peras
yang lima menjadi tiga. dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu
perkataan indonesia yang tulen, yaitu perkataan
Gotong-royong'. Negara lndonesia yang kita dirikan haruslah Negara
gotong-royong!
Fitrah ketiga adalah
semangat keikhlasan dan ketulusan. Dalam mengambil keputusan yang sulit,
seperti dalam menentukan ben tuk negara (uni, federasi atau konfederasi), para
pendiri bangsa di BPUPK terlebih dahulu mengheningkan cipta seraya memanjatkan
doa agar keputusan yang diambil dilandasi maksud yang suci dan diterima dengan
hati yang murni dengan penuh keikhlasan.
Fitrah keempat adalah semangat
pengabdian dan tanggunjawab. Dalam membincangkan hukum dasar, Muhammad Yamin
mengingatkan, "Saya hanya minta perhatian betul-betul, karena yang kita
bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada
kekhilafan daripada grondwet;
grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali
dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak danpada republik.
Fitrah kelima adalah
semangat menghasilkan yang terbaik. Menanggapi
Soepomo. yang menyatakan bahwa tidak bisa dibentuk hukum dasar yang sempurna di
masa perang. Soekarno mengingatkan, 'Saya penngatkan tentang lamanya perang
kita tidak tahu, barangkali satu bulan barangkali lebih lama dan jikalau hukum
dasar kurang sempurna. lebih baik didekatkan pada kesempumaan."
Fitrah keenam adalah
semangat keadilan dan kemanusiaan. Dalam Pancasila. kata 'keadilan' ditonjolkan
dengan menempatq kannya di dua sila sekaligus. Pada sila kedua. keadilan
dijadikan landasan nilai perjuangan kemenwaan; pada srla kelima, keadilan itu
dijadikan mjuan perjuangan Bung Hatta mengingatkan: "Camkanlah, negara
Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Panca Sila. apabila Pemerintah dan
masyarakat belum sanggup mentaati Undang-Undang
Dasar 1945. terutama belum dapat melaksanakan pasal 27. ayat 2, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34.
Fitrah ketujuh adalah
semangat kejuangan. Dalam pandangan Bung Hatta sebuah bangsa tidaklah eksis
dengan sendirinya, me lainkan tumbuh atas landasan suatu keyakinan, Sikap batin
yang me mancarkan etos kejuangan yang perlu dibina dan dipupuk sepanjang masa.
'Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan polmk, karena dia melambangkan
dan mencita-crtakan suatu tanah air pada masa dean dan untuk mewujudkannya,
setiap orang indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”
Fitrah dasar kehidupan
bernegara itu perlu dihidupkan sebagai tenaga batin dan prasyarat moralitas
yang dapat mengangkat marwah bangsa dari kerendahannya. Dalam peringatan Isra
Mi'raj 7 Februari 1959, Soekarno mengingatkan :
Tidak ada suatu bangsa dapat
berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat kuatnya.
Jikalau kita bangsa Indonesia
ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mi'raj
kenaikan ke atas, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik
ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa
yang demikian itu. dengan sendirinya akan gugur pelan pelan dari muka bumi
(sirna ilang kertaning bumi).
Demikianlah, para pendiri
bangsa mewariskan kepada kita se mangat, alasan, dan tujuan perjuangan
kebangsaan sedemikian terang dan luhumya. Kehilangan terbesar dari bangsa ini
bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi atau kehilangan pemimpin, melainkan
kehilangan karakter dan harga diri, karena diabaikannya semangat dasar
kehidupan bernegara. "Aib terbesar," kata Juvena lis. "ketika
kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi
kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan."
Sejauh ini, nilai~nilai ideal
Pancasila itu belum sepenuhnya ter bumikan dalam kenyataan, terutama karena
krisis keteladanan para penyelenggara negara. Membumikan Pancasila sebagai
pantulan cita cita dan kehendak bersama, mengharuskan Pancasila hidup dalam
realita, tidak hanya jadi retorika atau verbalisme di pentas politik. Karena
itu, rejuvenasi Pancasila harus dilakukan dengan cara mengukuhkan kembali
posisinya sebagai dasar falsafah negara, mengembangkannya ke dalam wacana
ilmiah, mengupayakan konsistensinya dengan produk produk perundangan, koherensi
an tarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, dan menjadikannya sebagai
karya, kebanggaan, dan komitmen bersama.
Kalau bukan sekarang, kapan
lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi? Marilah kita gemakan terus semboyan Bung
Hatta: Di atas segala lapangan Tanah
Air. aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi indonesia, di
sanalah tumbuh bibit cita-cita yang kusimpan dalam dadaku." Lantas ia pun
berikrar dengan mengutip seungkai sajak Rene de Clerq: 'Hanya ada satu tanah
air yang bernama Tanah Airku. Ia makmur karena usaha. dan usaha itu adalah
usahaku.”
(Sumber : Latif Yudi. NEGARA PARIPURNA
Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas PANCASILA. Jakarta, 2011.)
“Manusia
sesuai dengan fitrahnya akan cendrung berbuat baik, akan tetapi manusia hanya
akan berbuat kerusakan di muka bumi ini apabila tak ada pegangan yang dapat
menuntunnya menuju kebaikan”
888sport Casino Online for 2021 Review - DRMCD
BalasHapusRead 대구광역 출장샵 our in-depth review of 888sport Casino 시흥 출장샵 Online from our experts, including 서울특별 출장안마 the benefits, 거제 출장마사지 software, 창원 출장마사지 and bonuses offered.